You are currently viewing Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka

Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka

elama belasan abad, Pulau Bangka menjadi bagian dari jalur kemaritiman Nusantara. Rempah atau timah, yang membangun peradaban masyarakat di pulau seluas 1,16 juta hektar ini?

Jika naik pesawat, menuju Pangkalpinang, Ibu Kota Kepulauan Bangka Belitung, saat menjelang mendarat, kita melihat puluhan danau berwarna biru dan hijau. Danau-danau tersebut bukan bentukan alam, tetapi kolam bekas penambangan timah yang disebut “kolong”. Sebagian, kolong bekas penambangan timah ilegal itu marak terjadi pada tahun 2000-an. Dulunya, kolong-kolong itu bukan hanya semak belukar, tetapi juga perkebunan, hutan, mangrove, serta permukiman. 

Dalam sejumlah perjalanan darat Mongabay Indonesia di Pulau Bangka, misalnya dari Pangkalpinang ke Belinyu, Mentok, Toboali, Jebus, Permis, Sungaiselan, Mapur, Pejem, Maras, atau Kota Kapur, ditemukan belasan hingga puluhan kolong yang letaknya di sekitar jalan. 

Kolong-kolong tersebut, ada yang masih dikelilingi tumpukan pasir dan tanah liat, sudah ditumbuhi semak dan tanaman tertentu, atau dijadikan tempat mandi dan mencuci, kolam ikan, serta tempat rekreasi. Bahkan, ada yang dijadikan sumber air baku perusahaan daerah [PDAM]. 

Penelitian berjudul “Analisis Sebaran Kegiatan Pertambangan Timah Menggunakan Sistem Informasi Geografi di Daerah Bangka, Provinsi Bangka Belitung” oleh Mustafa Luthfi dan Bambang Sunarwan, yang diterbitkan Jurnal Teknologi Vol. I, Edisi 13, Periode Juli-Desember 2008, menunjukkan di Pulau Bangka pada tahun 2006 terdapat 1.021 kolong. 

Sejumlah kolong tersebut tersebar di Kabupaten Bangka [413], Bangka Selatan [124], Bangka Tengah [208], Bangka Barat [244], dan Pangkalpinang [32]. Disebutkan, kolong-kolong itu bukan hanya di lokasi eks tambang ilegal, tapi juga di wilayah KP [Kuasa Pertambangan] PT. Timah Tbk.

Pada 2015, jumlah kolong di Kepulauan Bangka Belitung tercatat 192. Setiap kolong luasannya antara 1-22 hektar. Data ini dikutip dari artikel “Pemulihan dan Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah” yang disiarkan bappeda.babelprov.go.id.

Penampakan kolam bekas tambang timah ilegal di Desa Rindik, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Berapa jumlah kolong di Pulau Bangka pada saat ini?

Anggi Siahaan, Kepala Bagian Humas PT. Timah Tbk, kepada Mongabay Indonesia, Senin [30/08/2021], tidak menjelaskan jumlah kolong di Pulau Bangka saat ini.

Jelas dia, perusahaan berkomitmen mengimplementasikan good mining practices dan bertanggung jawab melakukan reklamasi, di darat dan laut.

“Namun, seperti kita ketahui saat ini banyak wilayah konsesi perusahaan yang ditambang tanpa izin atau ilegal. Sehingga, menyebabkan kerusakan lingkungan karena tidak menerapkan kaidah yang baik. Bahkan, ada bekas lahan tambang yang sudah kami reklamasi, ditambang lagi oleh penambang tanpa izin. Padahal konsesi itu milik PT. Timah Tbk,” lanjutnya.

Reklamasi di darat, bentuknya revegetasi atau penanaman, dan ada juga bentuk lain berdasarkan permintaan dan kebutuhan stakeholder. “Dari 2017 hingga Juli 2021, perusahaan sudah mereklamasi 1.604 hektar lahan bekas tambang,” katanya.

Terhadap kolongnya, perusahaan melakukan treatment dengan stabilisasi lereng melalui penataan dan penanaman tepian. serta, memasang rambu atau papan berisi informasi larangan beraktivitas di kolong dan pemeliharaan tanaman. 

“Rata-rata kolong pada lahan reklamasi dimanfaatkan untuk cadangan air, budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung, PLTS [Pembangkit Listrik Tenaga Surya] Terapung, serta tempat wisata air,” katanya.

Aktivitas tambang ilegal yang menciptakan kolong di Desa Rindik, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Peranan timah

Dr. Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung, menjelaskan maraknya aktivitas tambang ilegal di Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka, dikarenakan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi peluang timah dapat ditambang bukan hanya oleh PT. Timah Tbk.

“UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mendorong Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung berkeinginan memanfaatkan timah dengan menerbitkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum,” kata Ibrahim, yang menulis buku “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila [2013]”.

Selanjutnya, Perda Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan Barang Strategis, Perda Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya, serta Perda Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kolong.

“Pada masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang timah. Jika ketahuan, langsung ditangkap dan dipenjara. Jadi, tambang ilegal itu semacam ekspresi kebebasan era reformasi,” kata Ibrahim.

Seorang penambang menunjukkan bongkah batuan yang mengandung timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Di tengah maraknya tambang ilegal, muncul juga sejumlah pandangan mengenai penambangan timah.

Dato Akhmad Elvian, budayawan dan sejarawan Bangka Belitung, menggambarkan masyarakat Bangka tidak lepas dari peradaban timah. Pemikiran ini disampaikannya melalui artikel “Masyarakat Bangka & Peradaban Timah” di babelpos.co. Ditulisnya, banyak permukiman atau kota di Pulau Bangka, terbentuk karena aktivitas penambangan timah. Misalnya, Muntok, Toboali, dan Pangkalpinang.

“Provinsi ini dapat berkembang dan maju, salah satunya karena daerahnya merupakan penghasil timah, dan bisa disebut sudah jadi tradisi sebagian besar masyarakat Babel [Bangka Belitung] untuk menambang timah turun-temurun, di kesempatan ini kami juga perlu sampaikan pejabat Babel bisa berkembang juga karena timah,” kata Letkol Laut [PM] Fajar Hasta Kusuma, Palaksana Lanal [Pangkalan TNI AL] Bangka Belitung, dalam Rapat Koordinasi Forkopimda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang membahas persoalan antara penambang timah dengan masyarakat terkait kawasan Teluk Kelabat Dalam, [05/8/2021], seperti dikutip dari aspirasipos.com.

Fakhrizal Abubakar, Kepala Museum Timah Indonesia [TMI] Muntok, dikutip dari National Geographic Indonesia, menjelaskan timah sudah ditambang sejak kedatangan Kedatuan Sriwijaya di Kota Kapur pada abad ke-7. Saat itu, timah masih untuk media barter dan bahan prasasti. Timah digali dalam skala kecil.

Baru pada masa Kesultanan Palembang [Sultan Mahmud Badaruddin I], penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan besar-besaran, dari 1730-an sampai 1740-an.

Penambangan timah dilakukan para buruh Tionghoa. Mereka mempunyai sistem kolong dengan menggunakan pacul dalam menambang. Alasan Kesultanan Palembang memperkerjakan buruh-buruh Tionghoa karena lebih disiplin dan bertenaga kuat dibandingkan pribumi. Sebagian masyarakat Bangka yang hidup saat ini, merupakan keturunan para penambang Tionghoa tersebut.

Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Memilih rempah, menolak timah

Sekitar empat bulan Mongabay Indonesia menelusuri berbagai Suku Melayu di Pulau Bangka, seperti Suku Mapur, Suku Maras, Suku Jerieng, Suku Gudang, Suku Sebagin, dan lainnya, tidak mendapatkan tradisi atau budaya terkait timah. 

Misalnya, tradisi menempa timah, adanya peralatan rumah tangga, perhiasan, peralatan pertanian, atau produk seni, seperti sastra, tari, musik, yang terkait timah. Timah hanya digunakan sebagai pemberat jaring ikan.

Para leluhur berbagai Suku Melayu tersebut datang ke Pulau Bangka, jauh sebelum Kesultanan Palembang menguasai Pulau Bangka. Mereka datang di masa Kerajaan Funan [Indochina], Sriwijaya, dan Majapahit.

Didapatkan informasi, para penambang timah ilegal kebanyakan para pendatang. Misalnya dari Tulungselapan, Air Sugihan dan Sungsang [Sumatera Selatan], Lampung, dan Jawa.

Selama belasan tahun, mereka menolak kehadiran tambang timah, baik yang dilakukan PT. Timah Tbk maupun yang ilegal. Terakhir, sebagian warga ditangkap dan ditahan karena dituduh menguasai dan merusak KIP [Kapal Isap Produksi] Citra Bangka Lestari di Perairan Bedukang. 

Mereka menjelaskan lada, cengkih, dan ikan yang menghidupi sukunya selama ratusan tahun. Di Pulau Bangka, menanam lada dan mencari ikan, sementara di pulau-pulau kecil, menanam cengkih dan mencari ikan.

Sejumlah perempuan yang baru turun dari ponton tambang ilegal di tengah laut. Mereka meminta hasil timah dengan cara membantu memasak makanan untuk para penambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Lada dan cengkih melahirkan kuliner khas Bangka yakni lempah kuning, dan sejumlah obat herbal. Daun lada dijadikan motif kain cual, songket khas Bangka, serta kata lada disebut dalam sejumlah sastra lisan. 

“Timah tidak ada dalam sejarah kehidupan kami. Lada dan ikan yang menyekolahkan anak-anak kami, dan membuat kami naik haji [muslim], atau membuat rumah,” kata Sep Amir Ibrahim [80], tokoh masyarakat Desa Permis, Kabupaten Bangka Selatan.

“Selama ratusan tahun, masyarakat yang menetap di pulau ini tidak pernah menambang timah. Kami hanya menanam cengkih, buahan, dan mencari ikan di laut. Tidak ada tradisi menambang timah,” kata Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah.

Umran [73], tokoh adat Suku Maras mengatakan, sejak dulu tidak ada penambangan timah di sini. “Semuanya sudah di-ampak [di daratan] leluhur kami. Kami hidup dari berkebun lada, karet, dan mencari ikan. Meskipun saat ini sudah ada yang berkebun sawit, kami menolak kehadiran perusahaan sawit.” 

Sukardi [52], tokoh adat Suku Mapur, menuturkan, leluhur mereka tidak pernah mengenalkan tradisi menambang timah. “Turun menurun kami hidup dari berkebun lada, kelapa, dan mencari ikan. Bahkan leluhur kami meng-ampak-an pasir timah di sini [di daratan],” katanya.

Lada merupakan tanaman yang dikelola masyarakat Suku Lom di Dusun Pejem. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

Derita Prapti Rahayu, dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, dalam penelitiannya berjudul “Kearifan Lokal Tambang Rakyat sebagai Wujud Ecoliteracy di Kabupaten Bangka” menjelaskan, ampak yang artinya dihilangkanmerupakan kearifan lokal masyarakat di Bangka dalam menjaga lingkungannya, dari penambangan timah.

Dia meneliti pada sejumlah wilayah di Kabupaten Bangka yang bebas dari tambang ilegal, seperti Desa Balunijuk dan Desa Jade [Kecamatan Merawang], Desa Mabet dan Desa Dalil [Kecamatan Bakam], serta Desa Petaling [Kecamatan Mendo Barat].

Lada sudah ditanam masyarakat di Bangka sekitar 300-400 tahun lalu, di masa awal kedatangan Belanda. Hal ini terindikasi dari varietas tanaman lada dengan nama Lampung Daun Lebar [LDL] dan Lampung Daun Kecil [LDK], serta Jambi.

Lada dari Pulau Bangka sangat terkenal di dunia, yang disebut “Muntok White Pepper”.

Hingga saat ini, Kepulauan Bangka Belitung menjadi produsen utama lada di Indonesia. Dikutip dari katadata.co.id, Badan Pusat Statistik [BPS] menyebutkan, pada tahun 2020, Kepulauan Bangka Belitung merupakan produsen lada terbesar di Indonesia, yakni 33,8 ribu ton atau 37,6 persen dari total produksi nasional.

Lempah kuning, kuliner khas Bangka Belitung yang kaya rempah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Hidup dengan rempah

Rendy Hamzah, Peneliti Pusat Studi Budaya, Peradaban, dan Pariwisata [Pusdappar] Universitas Bangka Belitung [UBB], menjelaskan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung tumbuh dalam kebudayaan bahari, seperti suku Melayu lainnya di Nusantara. Rempah dan ikan merupakan bagian dari sejarah peradabannya. 

“Timah itu bagian kecil dari sejarah masyarakat pribumi Bangka. Mereka menilai timah itu bisnis para penguasa. Mereka memilih hidup dengan rempah-rempah dan ikan karena tidak bertentangan dengan falsafah hidup yang menghargai alam. Makanya, Kesultanan Palembang terpaksa mendatangkan pekerja tambang Tionghoa,” kata Rendy. 

“Jika dipaksa, mereka melawan. Dulu melawan dengan meng-ampak pasir timah, kini dengan aksi protes,” lanjutnya.

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang masih bertahan di Bangka dan Belitung saat ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Di Pulau Bangka akan dikembangkan hilirisasi Logam Tanah Jarang [LTJ]. LTJ atau rare earth merupakan logam turunan dari penambangan timah, yang dinilai Pemerintah Indonesia sebagai “harta karun”.

“Sebaiknya, pemerintah juga memikirkan masa depan masyarakat di Pulau Bangka yang tidak mau terlibat dengan penambangan tersebut. Atau, jangan hilangkan jejak rempah di Pulau Bangka. Biarkan para Suku Melayu tua di Bangka hidup nyaman dengan lada, cengkih dan ikan,” kata Rendy.

 

 

Sumber : https://www.mongabay.co.id/ ( di 3 September 2021)

Leave a Reply