You are currently viewing Mangrove di Bangka Belitung, Antara Pelestarian dan Ancaman Pembukaan Tambak
eorang nelayan tengah mendayung perahu, melintasi hutan mangrove di Sungai Mendo, Desa Labuh Air Pandan, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi Mongabay Indonesia

Mangrove di Bangka Belitung, Antara Pelestarian dan Ancaman Pembukaan Tambak

Hari ini, 26 Juli 2021, kita memperingati Hari Mangrove Sedunia. Negara kepulauan ini memiliki mangrove seluas 3,31 juta hektar. Salah satu kawasan mangrove terluas di dunia [16,530 juta hektar]. Tetapi, sebagian mangrove tersebut kondisinya rusak. Berdasarkan data Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan], tercatat 637.624 hektar mangrove yang kondisinya kritis.

Kerusakan mangrove juga dialami Kepulauan Bangka Belitung. Selama 20 tahun terakhir, sekitar 240.467,98 hektar mangrove mengalami kerusakan, atau tersisa 33.224,83 hektar yang kondisinya baik.

Semula, mangrove di Kepulauan Bangka Belitung seluas 273.692,81 hektar, yang tersebar di Kabupaten Bangka [38.957,14 hektar], Kabupaten Bangka Barat [48.529,43 hektar], Bangka Selatan [58.165,04 hektar], Bangka Tengah [19.150,86 hektar], Belitung [65.658,06 hektar], dan Belitung Timur [43.232,28 hektar].

Seorang nelayan tengah mendayung perahu, melintasi hutan mangrove di Sungai Mendo, Desa Labuh Air Pandan, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi Mongabay Indonesia

Rusaknya mangrove tentunya menimbulkan berbagai persoalan. Misal, terlepasnya cadangan karbon, terganggunya ekosistem perairan, hilangnya flora dan fauna, berubahnya bentang alam, juga berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup di sekitar mangrove.

Terkait persoalan ini, Pemerintah Indonesia melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM], yang sebelumnya Badan Restorasi Gambut [BRG], menargetkan restorasi mangrove seluas 600 ribu hektar. Wilayahnya tersebar di Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, serta Papua Barat.

Pada 2021, restorasi mangrove yang akan dilakukan BRGM di Kepulauan Bangka Belitung seluas 16.319 hektar. Sekitar 3.069 hektar di kawasan konservasi dan seluas 13.250 hektar di luar kawasan konservasi.

Harapannya, selain kawasan mangrove menjadi pulih, juga memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat, seperti melalui padat karya [penanaman mangrove] dan pengembangan potensi ekonomi lainnya. Upaya ini dilakukan selama empat tahun [2021-2025].

“Tapi kerja BRGM cukup berat. Sebab persoalan mangrove di Indonesia bukan hanya memperbaiki yang rusak, juga mencegah kerusakan akibat berbagai kegiatan seperti perambahan, pertambakan udang dan ikan, penambangan, perkebunan, serta pembangunan infrastruktur, seperti pelabuhan, wisata, permukiman, dan lainnya,” kata Arthur M. Farhaby, peneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung [UBB], kepada Mongabay Indonesia, Kamis [22/7/2021].

“Ancaman ke depan mangrove di Kepulauan Bangka Belitung adalah tambak udang yang tidak lestari. Bukan hanya penambangan timah,” katanya.

Buah pedada yang telah lama dimanfaatkan masyarakat bahari Nusantara sebagai sirup maupun olahan kuliner. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Tambak udang di Bangka Belitung

Berdasarkan penelitian Ningsih Tassri dan Feranita dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan judul “Pemetaan Tambak Udang Vaname di Pesisir Kepulauan Bangka Belitung Menggunakan Interpretasi Visual Citra Sentinel 2 MSI”, dari lima pulau besar di Kepulauan Bangka Belitung yakni Pulau Bangka, Pulau Belitung, Pulau Lepar, Pulau Pongok dan Pulau Mendanau, pada 2020 hanya di Pulau Bangka yang ditemukan tambak udang vaname.

“Baik di sekitar muara sungai ataupun di sepanjang pesisir pulau. Total tambak udang eksisting yang berhasil diidentifikasi dengan metode ini 58 lokasi dengan luas keseluruhan hasil digitasi sebesar 984,06 hektar,” tulis penelitian ini.

Persebaran lokasi tambak paling banyak berada di wilayah Kabupaten Bangka, sebanyak 26 tambak dengan total luasan sekitar 434,12 ha atau setara dengan 44,12 persen dari luas keseluruhan digitasi tambak. Luasan ini mengalami perubahan ketika dilakukan verifikasi di lapangan atau akurasinya mencapai 95,34 persen.

Terkait izin, hingga Juni 2020, tercatat delapan kegiatan budidaya tambak udang vaname yang sudah memiliki izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal Terbuka Satu Pintu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Sementara, data yang dihimpun dari hasil pengawasan terhadap kegiatan atau usaha yang berdampak terhadap lingkungan hingga Mei tahun 2020, sejumlah 14 tambak telah memiliki izin lingkungan yang dikeluarkan pihak kabupaten. Perbedaan kewenangan perizinan ini terkait penggunaan sumber daya laut dalam melakukan budidaya udang vaname.

Abrasi pantai terjadi di sekitar pemukiman warga di Pulau Semujur, Bangka Tengah. Hilangnya ekosistem mangrove dapat memperparah abrasi pesisir di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Belajar dari Desa Timbulsloko

“Saya sangat khawatir kondisi ini, banyak mangrove di Kepulauan Bangka Belitung yang rusak, seperti di Pesisir Timur Pulau Bangka. Jika dibiarkan, mungkin Pulau Bangka akan seperti Desa Timbulsloko [Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah], yang sebagian besar wilayahnya sekarang terendam air laut, dampak dari pertambakan udang,” lanjut Arthur M. Farhaby.

Diceritakannya, tahun 1980 ke bawah, jalan depan rumah warga di Desa Timbulsloko, dapat dilalui kendaraan roda empat. Kini, dilalui menggunakan sampan atau perahu karena tergenang air laut. Sawah dan kebun palawija turut tergenang. Bahkan, air laut mengepung perkampungan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari garis awal pantai. Saat rob surut, tinggi air selutut kaki orang dewasa.

Desa Timbulsloko memiliki empat pedukuhan [dusun], yaitu Bogorame, Timbulsloko, Wonorejo, dan Karanggeneng. Data 2019 menyebut, penduduknya sebanyak 3.710 jiwa, dengan pekerjaan sebagai nelayan dan buruh pabrik.

Sejumlah nelayan pulang dari melaut dan harus melewati hamparan lumpur di sekitar Pesisir Desa Batu Belubang yang sudah kehilangan mangrovenya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 1980, setengah luas Dukuh Bogorame masih persawahan. Namun medio 1990, persawahan tersebut berubah menjadi tambak udang. Sepuluh tahun beroperasi, tambak terserang penyakit [Whitespot] sehingga dihentikan karena dinilai para investor tidak lagi menguntungkan. Tambak yang ditinggal itu akhirnya rusak karena abrasi, hanya menyisakan sedikit tanah kering untuk permukiman di tengah-tengah dukuh.

“Berkaca dari kisah Desa Timbulsloko, sangat diharapan jangan sampai kawasan mangrove di Pulau Bangka dan Belitung, bernasib ysama. Kolam-kolam eks tambak tidak bisa lagi menggantikan fungsi mangrove, baik secara ekologis, fisik, maupun secara biologis.”

Saat ini, kata Arthur, ancaman mangrove di Bangka bukan hanya dari penambangan timah, juga tambak udang yang masif, serta pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan dan wisata.

“Hendaknya, kawasan hutan mangrove yang tersisa dijaga dan dioptimalkan fungsinya sehingga masyarakat sadar akan manfaatnya,” katanya.

Pemanfaatan mangrove

Ary Prihardyanto Keim, etnobiolog, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [22/7/2021], menilai pengembangan potensi ekonomi mangrove di Indonesia belum terencana baik. “Selama ini masih mempertahankan eksistensi mangrove secara fisik, belum mempertahankan keberadaannya melalui pemanfaatan berkelanjutan.”

Dijelaskan Ary, banyak pemanfaatan ekonomi terkait mangrove, bukan hanya pariwisata. “Misalnya, mangrove sebagai lokasi peternakan lebah yang dapat dipanen madunya, propolis dan lilin sarangnya. Lilin lebah madu juga bagus untuk perawatan kesehatan. Kemudian zat pewarna tekstil alami dan tidak mencemari lingkungan.”

Pada diskusi bertajuk “Berdaya dengan Mangrove: Aksi Cerdas Konservasi Keanekaragaman Hayati” yang diselenggarakan Yayasan Kehati, Kemenko Maritim dan Investasi, LIPI, Indonesia Mangrove Society [IMS] dan Mongabay Indonesia, pada Selasa [21/7/2020] lalu, Ary menjelaskan bahwa leluhur bangsa Indonesia, yakni bangsa Austronesia [25.000-10.000 SM], sudah memanfaatkan mangrove [bakau] sebagai bagian dari kehidupannya. Misal, sebagai sumber pangan, bahan kapal, bahan bangunan, obat-obatan, serta pewarna alami.

Bangsa Austronesia yang hidup di kepulauan menggunakan perahu bercadik [outrigger boats] untuk berlayar ke berbagai tujuan. Mangrove menjadi salah satu wilayah pendaratan. Artinya, pelayaran bangsa Austronesia mengikuti persebaran mangrove.

Kawasan tambang udang berada disekitar pesisir pantai di Desa Rambat, Kabupaten Bangka Barat. Setelah timah, tambak udang ikut mengancam kelestarian ekosistem mangrove di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada diskusi lain, Ary pun menyebutkan kerajaan besar di Nusantara, seperti Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, juga memanfaatkan mangrove sebagai sumber pangan, teknologi, dan ekonomi.

Dari keberadaan mangrove ini, nilai yang dibangun pada bangsa Indonesia yakni gotong-royong. Kedudukan alam sama, menghormati laut dan pesisir. Artinya, nilai-nilai kebersamaan dan keseimbangan terjaga.

“Filosofi perahu bercadik. Gelombang laut bukan untuk dilawan, tetapi diseimbangkan,” paparnya.

 

 

Sumber : Mongabay.co.id

 

Leave a Reply