Bagi orang Bangka Belitung, Cephalopacus bancanus dikenal dengan nama mentilin, pelilean, krabuku, atau monyet hantu. Ya, dianggap hantu karena bentuknya yang eksentrik, mata besar, jari panjang, dan aktif pada malam hari. Salah satu tanda bahwa ia adalah penduduk asli, karena para orang tua sesepuh di Bangka sudah mengenalnya seperti itu. Sedangkan secara internasional kera mini ini disebut dengan Horsfield’s Tarsier atau Western Tarsier. Endemik karena tidak ditemukan di semua tempat, seolah bumi telah memilihnya untuk menjadi bagian tak tergantikan dari rumahnya yaitu hutan Bangka Belitung.
Dulunya mentilin dinamakan Tarsius bancanus, masih dikategorikan ke dalam satu genus Tarsius karena semua jenis tarsius baik dari Sumatera, Sulawesi, dan Filipina dianggap satu kelompok. Namun, setelah Groves dan Shekelle (2010) meneliti lebih lanjut, terjadi pengklasifikasian baru yang memisahkan anggota genus ini menjadi tiga genus berbeda yaitu Carlito, Tarsius, dan Cephalopacus (Gambar 1).

Ketiga golongan ini membentuk spektrum dimana Tarsius Filipina digolongkan dalam genus Carlito, Tarsius Sulawesi digolongkan dalam genus Tarsius, dan satu-satunya spesies yang diakui masuk ke dalam genus Cephalopacus yaitu spesies mentilin kita tercinta Cephalopacus bancanus (Gambar 2).

Spesies Cephalopacus bacanus ini kemudian endemik sub-spesiesnya dibedakan berdasarkan persebaran yang menunjukkan adanya isolasi geografis. C. bancanus dibedakan menjadi 4 sub-spesies yaitu:
- Cephalopacus bancanus bancanus (Pulau Bangka dan sebagian Pulau Sumatera)
- Cephalopacus bancanus saltator (Pulau Belitung)
- Cephalopacus bancanus borneanus (Pulau Borneo)
- Cephalopacus bancanus natunensis (Pulau Serasan, Natuna)
Penelitian yang mendeskripsikan perbedaan ciri morfologis sub-spesies ini masih terpencar dan belum lengkap. Di dalam disertasi Yustian (2007), Groves (2001) menjelaskan bahwa C. bancanus saltator memiliki bulu yang tidak terlalu tebal serta warna punggung yang khas, menyerupai abu-abu besi, berbeda dari sub-spesies lainnya. Selain dari itu, studi ciri khas yang jelas membedakan keempat sub-spesies ini menjadi peluang penelitian yang masih terbuka.
Diversifikasi jenis ini menjadi sebuah penelitian yang kompleks, dimana setelah membedakan sub-spesies berdasarkan ciri morfologis dan persebaran, dibutuhkan penelitian untuk menemukan “penanda” molekuler yang pas untuk membedakan keempat jenis ini secara cepat. Sehingga identifikasi secara tepat dapat dilakukan meskipun dalam kondisi tidak adanya ahli taksonomi. Penelitian Widayanti (2012) misalnya, yang mencoba gen ATP6 untuk membedakan C. bancanus dari Lampung (Sumatera) dengan C. bancanus dari Kalimantan (Borneo). Hasilnya, gen ini tidak bisa dijadikan penanda molekuler untuk membedakan keduanya dikarenakan jarak genetik yang sangat kecil. Sedangkan penelitian terbaru oleh Pratiwi et al. (2024) menggunakan 10 primer berbeda dengan teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), menunjukkan potensi diversifikasi antara sampel C. bancanus dari Bangka dengan dari Sumatera. Meski demikian, penanda molekuler potensial yang lebih kuat (robust) masih banyak untuk dieksplorasi.
Alobi Foundation melalui Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, Air Jangkang, Bangka menjadi salah satu penggerak usaha konservasi mentilin secara ex situ (penangkaran) dengan kapasitas perawatan yang memerhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare). PPS Alobi menerima serahan mentilin dari berbagai pihak seperti BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumsel, dan Polda Babel karena Mentilin merupakah hewan yang dilarang untuk diperdagangkan. Setelah diterima, status kesehatan mentilin diperiksa oleh dokter hewan Alobi untuk kemudian direhabilitasi dan dirawat sampai mentilin dipastikan siap untuk dilepasliarkan.
Kegiatan penyelamatan, perawatan, dan pelepasliaran rutin dilakukan PPS Alobi hingga hari ini. Namun, Alobi Foundaion menyadari penuh pula akan pentingnya penelitian dalam upaya konservasi. Oleh karena itu, kami sangat menyambut baik kerjasama maupun pendanaan untuk penelitian mentilin di PPS Alobi. Alobi juga memiliki tim forest ranger di Tahura (Taman hutan raya) Gunung Menumbing dengan fasilitias situs riset yang dapat dimanfaatkan untuk meneliti di kawasan konservasi in situ (di lingkungan alaminya).
Fakta Seru (Fun Fact):
Mentilin punya bau khas seperti wangi pandan dan suara yang tidak bisa kita dengar (ultrasonik). Ini akan dibahas di artikel selanjutnya, tetap penasaran ya!
Sumber Pustaka:
Groves CP, 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington – London.
Groves CP, Shekelle M. 2010. The Genera and Species of Tarsiidae. International Journal of Primatology 31(6):1071-1082. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9443-1.
Pratiwi PR, Muharni M, Setiawan A, Hanum L, Yustian I.2024. Genetic variation based on RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) markers in western tarsiers (Cephalopachus bancanus) from South Sumatra and Bangka Island. Indonesian Journal of Applied Science and Technology 5(2):118-121. https://doi.org/10.33086/injast.v5i2.11039.
Widayanti R, Handayani NSN, Wijayanto H. Keragaman genetik sekuen gen ATP synthase FO subunit 6 (ATP6) monyet hantu (Tarsius) Indonesia. Jurnal Veteriner. 2012;13(4):358–370. https://ojs.unud.ac.id/index.php/jvet/article/view/6027.
Yustian, I. 2007. Ecology and Conservation Status of Tarsius bancanus saltator on Belitung Island, Indonesia. Disertasi Doktor, Universität Göttingen. Göttingen: Cuvillier Verlag.
#Riset#Mentilin#Konservasi#Alobi#Endemik#BangkaBelitung
Penulis: Frista Chairunnisa | 19 Mei 2025
English Version
Why the Mentilin is Endemic: Classification and Research Opportunities
By: Frista Chairunnisa | May 19, 2025
For the people of Bangka Belitung, Cephalopachus bancanus is known by many local names: mentilin, pelilean, krabuku, or simply the “ghost monkey.” It’s called a ghost not without reason, its large eyes, long fingers, and nocturnal behavior give it a mysterious, almost otherworldly appearance. Local elders in Bangka have long recognized this primate as a native presence, part of their landscape and stories. Internationally, this small primate is referred to as Horsfield’s Tarsier or the Western Tarsier. It is considered endemic because it isn’t found just anywhere. It’s as if the Earth chose this species to be an irreplaceable resident of the Bangka Belitung forests.
Originally, the mentilin was classified as Tarsius bancanus, grouped in the same genus as all other tarsiers from Sumatra, Sulawesi, and the Philippines. However, a revision by Groves and Shekelle (2010) restructured the taxonomy, separating the group into three distinct genera: Carlito, Tarsius, and Cephalopachus (see Figure 1).

These three groups form a spectrum, with the Philippine tarsiers classified under the genus Carlito, the Sulawesi tarsiers placed in the genus Tarsius, and the only recognized species in the genus Cephalopachus being our beloved mentilin, Cephalopachus bancanus (see Figure 2).

The species Cephalopachus bancanus is endemic, and its subspecies are differentiated based on their distribution, which reflects geographic isolation. C. bancanus is divided into four subspecies:
- Cephalopachus bancanus bancanus (Bangka Island and part of Sumatra Island)
- Cephalopachus bancanus saltator (Belitung Island)
- Cephalopachus bancanus borneanus (Borneo Island)
- Cephalopachus bancanus natunensis (Serasan Island, Natuna)
Research describing the morphological differences among these subspecies remains scattered and incomplete. In Yustian’s dissertation (2007), Groves (2001) notes that C. bancanus saltator has less dense fur and a distinctive dorsal coloration resembling iron grey, which sets it apart from the other subspecies. Beyond this, detailed studies clearly distinguishing the four subspecies represent a still open research opportunity.
This species diversification presents a complex research challenge. After distinguishing subspecies by morphology and distribution, it is necessary to identify suitable molecular markers to differentiate these four subspecies rapidly. Such markers would enable accurate identification even without taxonomic experts. For example, Widayanti (2012) attempted to use the ATP6 gene to distinguish C. bancanus from Lampung (Sumatra) and C. bancanus from Kalimantan (Borneo). The results showed that this gene was not a reliable molecular marker due to the very small genetic distance between the populations. Meanwhile, more recent research by Pratiwi et al. (2024), using 10 different primers with RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) techniques, indicated potential genetic diversification between C. bancanus samples from Bangka and Sumatra. Nevertheless, more robust potential molecular markers remain to be explored.
The Alobi Foundation, through its Animal Rescue Center (Pusat Penyelamatan Satwa – PPS) in Air Jangkang, Bangka, is one of the driving force of ex situ conservation efforts for the mentilin (tarsier) with a care capacity that prioritizes animal welfare. PPS Alobi receives mentilin from various stakeholder, including BKSDA (Natural Resources Conservation Agency) South Sumatra and the Bangka Belitung Regional Police, as mentilin is a protected species and trading it is prohibited. Upon arrival, the health status of the mentilin is checked by Alobi’s veterinarians before undergoing rehabilitation and care until they are deemed ready for release.
Rescue, care, and release activities are routinely conducted by PPS Alobi to this day. However, the Alobi Foundation also fully recognizes the importance of research for conservation efforts. Therefore, we warmly welcome collaboration and funding for mentilin research at PPS Alobi. Additionally, Alobi has a team of forest rangers at Tahura (Taman Hutan Raya) Gunung Menumbing, which offers research site facilities that can be utilized for studies within in situ conservation areas (within their natural habitat).
Fun Fact:
Mentilin (the Western tarsier) has a unique scent that smells like pandan leaves and can produce sounds beyond the range of human hearing (ultrasonic).
We’ll explore this more in the next article—stay curious!
References:
Groves CP, 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington – London.
Groves CP, Shekelle M. 2010. The Genera and Species of Tarsiidae. International Journal of Primatology 31(6):1071-1082. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9443-1.
Pratiwi PR, Muharni M, Setiawan A, Hanum L, Yustian I.2024. Genetic variation based on RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) markers in western tarsiers (Cephalopachus bancanus) from South Sumatra and Bangka Island. Indonesian Journal of Applied Science and Technology 5(2):118-121. https://doi.org/10.33086/injast.v5i2.11039.
Widayanti R, Handayani NSN, Wijayanto H. Keragaman genetik sekuen gen ATP synthase FO subunit 6 (ATP6) monyet hantu (Tarsius) Indonesia. Jurnal Veteriner. 2012;13(4):358–370. https://ojs.unud.ac.id/index.php/jvet/article/view/6027.
Yustian, I. 2007. Ecology and Conservation Status of Tarsius bancanus saltator on Belitung Island, Indonesia. Disertasi Doktor, Universität Göttingen. Göttingen: Cuvillier Verlag.
#Research#WesternTarsier#Horsfield’sTarsier#Conservation#Alobi#Endemic#BangkaBelitung