Dianggap hantu sehingga ditakuti, suci sehingga dihormati, terlarang sehingga tidak disentuh.
Familiar dengan narasi-narasi ini? Leluhur kita menurunkan budaya kearifan alam, yang kini kita sebut sebagai mitos. Ia melibatkan kekuatan supranatural sehingga kita tidak diminta untuk banyak bertanya, cukup mematuhi saja. Bagi masyarakat modern, hal seperti ini tentu sulit diterima logika, bahkan sering dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Namun siapa sangka, mitos justru berperan menyelamatkan satwa. Tradisi Tana’ Ulen (hutan larangan) di Kalimantan menjaga macan dahan (Neofelis nebulosa) (Egenther et al. 2021). Ritual Ngagah Harimau di Kerinci melindungi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) (Tomi et al. 2019). Di Bali, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dihormati karena diasosiasikan dengan Dewa Hanuman (Fuentes et al 2010).

Andre, penggiat konservasi satwa di Bangka menyampaikan bahwa mitos seperti ini pun banyak dijumpai di Pulau Bangka. Sengaja atau tidak, kepercayaan ini menjadikan Kukang Bangka (Nycticebus bancanus), Mentilin (Chepalopacus bancanus), Binturong (Arctictis binturong), dan Tebok Ati (Prionodon linsang) terlindungi karena dianggap sebagai hantu atau makhluk mistis. Menurut wawancara Nopri Ismi di Mongabay (2022) Suku Mapur, salah satu suku tertua di Bangka pun memercayai bahwa memakan hewan-hewan tersebut akan menyebabkan yang mengkonsumsinya jatuh sakit.

Meski begitu, Andre menambahkan ada juga kepercayaan di salah satu daerah yang menganggap Kera Buku (Monyet ekor panjang: Macaca fascicularis) sebagai penangkal penyakit ternak jika dipelihara. Siding istilahnya.
Seperti di daerah lain pun, monyet ekor panjang sering dipelihara, diperjualbelikan, sampai menjadi objek seni pertunjukan rakyat: topeng monyet. Karena mudah dijumpai seperti ini, “kesan”nya populasinya masih banyak.

Sehingga sebagai orang awam, wajar jika mengira bahwa monyet ekor panjang hanyalah ‘hewan biasa’, tidak dilindungi. Dikutip dari liputan Luh De Suriyani, Kepala BKSDA Bali, R. Agus Santoso, bahkan menyebut monyet ekor panjang sebagai mamalia yang “relatif melimpah” karena kemampuannya beradaptasi dengan manusia dan berkembang biak cepat (Mongabay, 2021).
Sayangnya, fakta tidak sesederhana itu. Sejak 2022, IUCN menetapkan monyet ekor panjang berstatus Endangered (terancam punah). Populasinya diproyeksikan menurun lebih dari 50% dalam tiga generasi (±40 tahun), terutama akibat perdagangan satwa liar, konflik dengan manusia, dan kehilangan habitat (Hansen et al., 2022).

Peringatan tentang masa depan satwa ini bahkan sudah disuarakan sejak 2008. Seorang pakar IUCN mengingatkan bahwa nasib M. fascicularis bisa berakhir seperti burung passenger pigeon (Ectopistes migratorius) di Amerika Utara. Spesies yang pernah berjumlah miliaran itu punah dalam 50 tahun akibat perburuan masif (Eudey 2008). Kini, setelah 16 tahun, ancaman terhadap M. fascicularis justru makin meningkat.
Ironisnya, hingga kini (September 2025), monyet ekor panjang belum masuk daftar satwa dilindungi di Indonesia, meski sudah ada demonstrasi sejak 2022 yang mendesak Kementerian Lingkungan Hidup agar segera memberi status perlindungan hukum.

Mengapa penting? Karena setiap spesies memiliki fungsi dalam ekosistem. Monyet ekor panjang adalah penyebar biji (seed disperser) yang penting untuk regenerasi hutan. Mereka memakan buah lalu memuntahkan biji di tempat lain (Lucas & Corlett, 1998). Riset menunjukkan Macaca menyebarkan biji lebih dari 80 jenis tumbuhan (Sengupta et al., 2020). Artinya, jika mereka punah, banyak tumbuhan yang ikut terancam.
Kita bisa belajar dari kasus pohon tambalacoque (Sideroxylon grandiflorum) di Mauritius, yang diduga ikut terancam setelah burung dodo punah (Temple 1977). Meski hubungannya masih diperdebatkan, cerita ini memberi gambaran tentang co-extinction: kepunahan bersama spesies yang saling bergantung.
Dari sini kita bisa paham bahwa implikasi punahnya spesies itu meluas. Menjaga Macaca fascicularis bukan semata menyelamatkan seekor monyet, melainkan ikut memastikan kelangsungan pohon, hutan dan kehidupan yang menopang kita semua.
Faktanya, satwa liar akan baik-baik saja tanpa kita. Justru aktivitas manusialah yang mempercepat laju kepunahan (Ceballos et al., 2015). Karena itu, kebijaksanaan kita yang perlu diuji. Jika leluhur melindungi lewat mitos, maka kini kita melanjutkan lewat regulasi dan kesadaran publik.
Inilah esensi pembangunan berkelanjutan: “memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang” (Brundtland, 1987). Prinsip ini kemudian dijadikan dasar Sustainable Development Goals (SDGs) (2015–2030), yang mengikat negara dan perusahaan untuk memastikan keberlanjutan. Artinya, pembangunan apa pun harus memperhitungkan keberlangsungan satwa.
Masalahnya, ketika habitat makin terhimpit pembangunan, konflik dengan manusia makin sering terjadi. Petani di banyak daerah mengeluh kebunnya dirusak monyet. Dalam situasi ini, masyarakat mudah melihat monyet sebagai hama. Padahal, mereka hanya berusaha mencari makan karena ruang hidupnya makin sempit. Jika tidak ada solusi adil, bisa jadi konflik berujung perburuan atau pembalasan. Di sinilah perlunya mitigasi, baik dari penyelenggara negara atau perusahaan seperti membangun wildlife corridor yang menghubungkan habitat terfragmentasi, agar monyet dapat bebas berpindah meskipun areal hutan terpisah-pisah oleh pembangunan.

Namun, pada akhirnya yang paling penting adalah kesadaran masyarakat. Karena masyarakat yang mampu mengawasi kepatuhan atas regulasi. Praktik terbaik memang adalah dengan tidak mengganggu hewan liar, menjaga sifat liarnya di alam dengan tidak memberi makan, tidak memelihara dan tidak mempromosikan aktivitas memelihara. Kalaupun dibutuhkan untuk wisata, maka ekowisata yang bertanggung jawab. Seperti konsep yang dipromosikan oleh @wildtesa di Instagram:
- Menghormati hewan liar: memastikan penyelenggara tidak memaksakan perjumpaan hewan untuk kepentingan profit.
- Memberdayakan masyarakat lokal: agar masyarakat sekitar juga diuntungkan dalam wisata ini.
- Mendukung konservasi: penyelenggara harus aktif menjaga ekosistem dan habitat.
- Ada kolaborasi dengan peneliti: agar upaya konservasi terus berkembang.

IUCN pun merilis panduan untuk ekowisata primata di alam yang bertanggungjawab, dengan poin aturan seperti:
- Tidak memberi makan monyet
- Menjaga jarak minimal 7 meter dari monyet
- Tidak menggunakan flash atau membuat suara keras yang mengganggu monyet
- Menghindari kontak fisik, tidak mengejar monyet jika mereka menjauh
(Waters et al. 2023)
Kalaupun kontak dengan masyarakat tak terhindarkan, kita bisa belajar dari konsep One Health yang diterapkan di Bali. Selain kepercayaan yang dijaga orang Bali mengenai kesucian monyet ekor panjang, pengunjung juga menunjukkan kepedulian terhadap kesehatan hewan tersebut. Laporan dari Loudon et al. (2023) di Sacred Monkey Forest di Ubud Bali mencatat adanya klinik on site yang merespon laporan pengunjung mengenai individu monyet yang terluka. Upaya seperti ini tidak hanya menyelamatkan individu namun juga meningkatkan kesadaran saling menjaga.

Lebih jauh, perlindungan satwa liar juga berarti melindungi manusia. Perdagangan monyet ekor panjang yang marak bukan hanya ancaman bagi populasinya, tetapi juga membuka risiko penyakit zoonosis yang bisa berpindah dari satwa ke manusia. Prinsip One Health mengingatkan kita bahwa kesehatan satwa, manusia, dan lingkungan saling terhubung. Jadi, membiarkan monyet tetap liar di habitatnya sama artinya dengan melindungi diri kita sendiri.
Jika orang-orang di sekitar monyet ekor panjang merasakan dampak baik dari kehadiran hewan ini, maka tanpa diminta pun mereka akan melindunginya. Karena jika masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha berjalan bersama, kita tidak hanya menjaga agar monyet ekor panjang tetap ada, tetapi juga memastikan bahwa hutan dan seluruh kehidupan yang bergantung padanya ikut terjaga. Dari kearifan lokal hingga ilmu pengetahuan modern, kita punya bekal untuk satu tujuan: agar bumi tetap penuh kehidupan, bukan kenangan.
Daftar Pustaka
Ceballos, G., Ehrlich, P.R., Barnosky, A.D., García, A., Pringle, R.M., & Palmer, T.M. (2015). Accelerated modern human–induced species losses: Entering the sixth mass extinction. Science Advances, 1(5), e1400253. https://doi.org/10.1126/sciadv.1400253
Eghenter, C., Widodo, K., Bawan, Y., Jalung, S., & Salo, A. (2021). Tana’ ulen: A vital conservation tradition for the recognition of territories of life in North Kalimantan, Indonesia. Territories of Life. Retrieved from https://report.territoriesoflife.org/territories/tana-ulen-indonesia/
Eudey, A. A. (2008). The Crab-Eating Macaque (Macaca fascicularis): Widespread and Rapidly Declining. Primate Conservation, 23(1), 129–132. https://doi.org/10.1896/052.023.0115
Fuentes, A. (2010). Naturalcultural encounters in Bali: Monkeys, temples, tourists, and ethnoprimatology. Cultural Anthropology, 25(4), 600–624. https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/j.1548-1360.2010.01071.xHandayani, F. (2019). Musik Tarawak Tarawoi dalam ritual Ngagah Harimau di masyarakat Pulau Tengah Kabupaten Kerinci. Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, 3(2), 165–176. https://doi.org/10.22437/titian.v3i2.8177
Hansen, M.F., Ang, A., Trinh, T.T.H., Sy, E., Paramasivam, S., Ahmed, T., Dimalibot, J., Jones-Engel, L., Ruppert, N., Griffioen, C., Lwin, N., Phiapalath, P., Gray, R., Kite, S., Doak, N., Nijman, V., Fuentes, A. & Gumert, M.D. 2022. Macaca fascicularis (amended version of 2022 assessment). The IUCN Red List of Threatened Species 2022: e.T12551A221666136. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2022-2.RLTS.T12551A221666136.en. Accessed on 05 September 2025.
Ismi, N. (2023, 26 Januari). Binturong dan kearifan masyarakat Pulau Bangka menjaganya. Mongabay Indonesia. Diakses dari https://mongabay.co.id/2023/01/26/binturong-dan-kearifan-masyarakat-pulau-bangka-menjaganya/
Loudon, J. E., Howells, M. E., Wolfe, C. A., Buana, I. N., Buda, W., Wandia, I. N., Putra, I. G. A. A., Patterson, M., & Fuentes, A. (2023). Healing Hanuman’s army: Veterinary care as a core component of One Health principles in a Southeast Asian monkey forest. Animals, 14(1), 117. https://doi.org/10.3390/ani14010117
Lucas, P. W., & Corlett, R. T. (1990). Alternative seed-handling strategies in primates: Seed-spitting by long-tailed macaques (Macaca fascicularis). Oecologia, 82(2), 166–171. https://doi.org/10.1007/BF00323531
Sengupta, A., Gazagne, E., Albert-Daviaud, A., Tsuji, Y., & Radhakrishna, S. (2020). Reliability of macaques as seed dispersers. American Journal of Primatology, 82(5), e23115. https://doi.org/10.1002/ajp.23115
Suriyani, L. D. (2021, 8 Oktober). Tantangan perdagangan monyet ekor panjang di Bali. Mongabay Indonesia. Diakses dari https://mongabay.co.id/2021/10/08/tantangan-perdagangan-monyet-ekor-panjang-di-bali/
Temple, S. A. (1977). Plant-animal mutualism: Coevolution with dodo leads to near extinction of plant. Science, 197(4306), 885–886. https://doi.org/10.1126/science.197.4306.885.
Waters, S., Hansen, M. F., Setchell, J. M., Cheyne, S. M., Mittermeier, R. A., Ang, A., … & IUCN SSC Primate Specialist Group (2023). Responsible primate-watching for tourists. IUCN SSC Primate Specialist Group, Section on Human–Primate Interactions. Retrieved from https://human-primate-interactions.org/wp-content/uploads/2023/09/responsible-primate-watching-for-tourists.pdf
#monyetekorpanjang #endangered #mitos #macacafascicularis #Alobi #konfliksatwa #ekoturisme #berkelanjutan
